Melali Ke Tejakula.

Aku tidak pernah merasa menghitung hari, tanpa terasa umurku sudah tidak muda lagi. Pada saat menulis Blog ini, umurku sudah menginjak kepala empat. Ya, sekitar 41-an. Dalam usia yang sudah tidak muda lagi, aku kehilangan segalanya. Saudara-saudaraku yang sangat aku sayangi, bahkan beberapa sudah ada yang meninggal. Untungnya aku telah dikaruniai seorang putra yang akan merawatku di saat aku tua kelak. Ayah dan ibuku juga sudah lanjut usia. Aku sangat berhutang budi pada mereka karena mereka telah membesarkanku. Terkadang setiap malam aku dilanda sepi. Aku selalu teringat pada masa-masa kecilku dulu bersama kakak-kakakku dan adikku yang telah almarhum. Justru aku lebih sedih kehilangan kakak dan adikku ketimbang aku ditinggal pergi oleh istriku. Ketiga istriku tidak ada yang betah menjalin biduk rumah tangga denganku. Penyebabnya satu yaitu aku laki-laki kere alias miskin. Cewek jaman sekarang mana ada yang mau hidup dengan laki-laki miskin.


Sebagian besar cewek jaman sekarang menikah tidak berdasarkan cinta, tetapi berdasarkan seberapa besar materi yang dimiliki oleh calon suaminya. Sudah tahu aku laki-laki miskin, tetapi kenapa dia mau menjadi istriku? Bahkan yang membuatku dendam, kata-kata istriku dan mertuaku yang sangat pedas masih terngiang di telinga. Dendamku masih tersimpan rapi di dada. Aku pernah dimaki dan aku dibilang buruh miskin oleh mereka. Makian itu berusaha aku lupakan. Tetapi mengapa sampai sekarang sulit aku hapus dari ingatanku. Aku adalah laki-laki yang dilahirkan dalam keluarga miskin. Aku adalah anak kampung. Meski demikian aku tetap bangga, tetap bersyukur dan tidak pernah mengeluh. Setiap malam mataku sangat sulit aku pejamkan. Aku teringat saat masih kecil bersama saudara-saudaraku. Dan juga saat ayah dan ibu umurnya masih muda. Teringat pula saat menjelang hari Galungan. Di kampung ada istilah hari Penyajaan yaitu hari membuat kue untuk persiapan persembahan di hari Galungan.


Jaman dahulu semua orang bikin kue sendiri pada hari itu. Tidak seperti sekarang semuanya serba beli. Jaman sekarang semuanya ingin praktis dan instan. Kalau jaman dahulu rasa kebersamaan itu yang aku rindukan. Ibu bikin kue tradisional yang bernama Jaje Uli Barak, Uli Putih, Jaje Gine serta Kaliadrem. Setiap kali ibuku mengangkat kue yang matang dari wajan, aku selalu rebutan kue bersama saudara-saudaraku. Itulah yang aku rindukan dari momen Penyajaan. Walaupun rebutan kue, tapi tidak ada unsur dendam. Justru keakraban semakin terjalin bersama saudara-saudaraku. Kemudian di hari Penampahan, kami sekeluarga menikmati Lawar dan sate. Esoknya kami sembahyang bersama di beberapa pura di Tejakula di hari Galungan. Pada saat Galungan yang masih membekas di ingatanku adalah tradisi Mesegau. Entah apa arti dari Mesegau itu. Yang jelas, ibu memakaikan gelang berupa benang Tukelan ke tanganku. Kini aku sudah tidak muda lagi. Tapi yang membuat aku bahagia adalah aku banyak sekali punya keponakan yang masih kecil-kecil dan lucu-lucu. Bahkan aku sudah punya cucu. Tapi cucu bukan dari putraku. Melainkan cucu dari keponakanku. Mereka lah yang bisa mengobati kesepianku. Mereka juga sebagai pengganti saudara-saudaraku yang telah tiada. Aku adalah buruh miskin seperti makian yang dilontarkan oleh mantan mertuaku. Yang namanya bekerja sebagai buruh bangunan, terkadang ada Job, terkadang tidak.

Dulu sebelum Korona, aku sering nongkrong di Bale Bengong sebelah timur tempat permandian umum desa Tejakula. Setiap jam sebelas siang, saat belum ada Job, aku menunggu turis datang ke tempat permandian. Dengan modal bahasa inggris pas-pasan, aku sering berkenalan dengan para turis. Dan gayaku hanya satu yaitu mengajak singgah turis ke rumahku lalu aku tawarkan lukisan tradisional dan patung mini dari kayu. Sebagian turis ada yang mau, ada juga yang tidak mau. Sambil menunggu turis datang, aku menikmati kuliner khas Tejakula di warung sebelah. Makanan khas Tejakula yaitu Mengguh dan Kedongkol. Mengguh itu sejenis bubur beras yang diberi bumbu pada saat proses memasaknya. Ada Mengguh berisi daging ikan atau daging ayam berisi mie instan. Ada Mengguh yang berisi kacang, bayam, dan ketela. Sebenarnya kuliner tradisional Tejakula itu banyak sekali. Ada Kedongkol yang terbuat dari kacang Kace. Ada Loteng atau Kace rebus yang ditumbuk halus lalu diberi bumbu. Ada juga Jukut Paku atau sayur pakis. Ada Jukut Sela. Kalau dalam bidang kue tradisional, di Tejakula ada istilah Jaja Arang-Arang yang terbuat dari ketan. Ada juga Jaja Ucur karena di Tejakula ada badai Ucur.

Setelah lama menunggu turis, tiba-tiba aku bahagia sekali karena dewi Fortuna sedang berpihak padaku. Tiba-tiba turis asal Selandia Baru yang bernama Peter Ingglis mau kuajak singgah ke rumahku. Sampai di rumah, aku perkenalkan Peter pada ayah dan ibuku. Serta putraku yang saat itu masih berumur tiga tahun. Seperti biasa, karakter ayahku memang suka ngobrol dan suka pamer sesuatu. Jadi tampaknya sangat nyambung antara ayah dan Peter. Seperti yang aku bilang tadi, ayahku suka pamer atau suka membanggakan anak-anaknya. Ayahku mengambil beberapa lembar poto yang berisi kakakku yang telah almarhum. Dalam poto itu kakakku sedang berpose di air terjun Yeh Mampeh desa Les-Tejakula. Peter manggut-manggut ketika melihat poto tersebut. Tidak lama kemudian ibuku datang membawa hidangan berupa Lontong atau ketupat yang berisi bumbu kacang dicampur bayam dan tahu. Minumannya es rujak berisi potongan mentimun kecil-kecil dan kacang tanah. Setelah selesai menikmati hidangan, Peter bergegas mengambil dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribu untuk ibuku. Dan beberapa lembar uang pecahan seratus ribu buatku. Tapi dia memohon agar aku bersedia menemaninya jalan-jalan ke lokasi seperti yang ada dalam poto kakakku yaitu air terjun Yeh Mampeh desa Les. Setelah aku menyanggupinya, kini giliran aku diajak singgah oleh Peter ke tempat penginapannya di Bondalem yaitu di Villa Puri Bagus. Setelah aku pamitan sama ayah dan ibuku, aku dan Peter bergegas ke Puri Bagus. Keesokan harinya setelah diberikan sarapan pagi oleh pelayan Villa, aku menepati janji untuk pergi bersama Peter hari itu yaitu ke air terjun Yeh Mampeh desa Les.

Aku bangga dilahirkan sebagai masyarakat Tejakula. Karena desa Tejakula memiliki alam yang sangat indah. Betul sekali seperti lagu yang dibawakan oleh Gede Nararya asal les yang berjudul Melali Ke Tejakula yang diciptakan oleh Igede Yudi Atmika pemilik Honesta Record. Kalau ingin menonton tarian Wayang Wong, datang saja ke Tejakula. Kalau ingin mandi ke air terjun, datang saja ke Yeh Mampeh desa Les. Kalau ingin mancing dan snorkling, datang saja ke Bondalem. Kalau ingin mencicipi buah durian, silahkan datang ke desa Madenan. 

Selain itu, Tentang mata pencaharian masyarakat Tejakula. Ada nelayan, ada petani garam, pembuat gula merah cair di Les, Pembuat Dodol, dan pembuat Cerorot di Pacung. Tentang kremasi di Tejakula pada jaman dahulu ada istilah Metuwun dan Metulen. Ada juga tradisi Mekarya Bakti atau lanjutan upacara Ngaben, ada juga upacara Ngantukang Bulu Geles. Mengenai Piodalan Khas Tejakula ada istilah Dangsil, Ngenemang, Ngambeg, Labuh Gentuh dan lain-lain.  Sebelum dinamakan Tejakula, desa ini dulunya dinamakan Hiliran seperti yang tertera dalam piagam raja Janasadhu Warmadewa yang memerintah tahun 975 Tarik Masehi yang sekarang tersimpan di desa Sembiran. Kemudian Hiliran berganti menjadi desa Paminggir seperti yang tertera dalam prasasti Jayapangus yang berangka tahun 1101 Tarik Masehi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Buat Mantan Istri.

Indonesia Mendapatkan Julukan Pemain Judi Online Terbanyak Sedunia.